Gugat Cerai Karena Pasangan Selingkuh
Berdasarkan pemaparan singkat sebelumnya telah kita ketahui bahwa perselingkuhan dapat menjadi alasan untuk mengajukan permohonan perceraian. Dalam PP 9/1975 disebutkan bahwa perselingkuhan termasuk dalam perbuatan zina.
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 284 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa ada ancaman pidana berupa hukuman penjara paling lama sembilan bulan bagi suami atau istri yang melakukan perbuatan zina (dalam hal ini termasuk perselingkuhan).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa undang-undang yang berlaku di Indonesia juga melarang perbuatan zina.
Berbicara mengenai ketentuan hukum, maka tentu ada yang namanya pembuktian. Ketika seseorang, baik suami ataupun istri, mengajukan gugat cerai karena pasangannya selingkuh, maka permohonan gugat cerai tersebut bukan hanya didasarkan pada asumsi atau dugaan semata.
Namun perlu diperhatikan bahwa ia harus dapat membuktikan perselingkuhan yang dilakukan oleh pasangannya. Hal ini penting untuk memperkuat pembuktian sehingga dapat menjadi pertimbangan hakim di persidangan.
Alasan Permohonan Perceraian
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 (PP 9/1975) yang merupakan peraturan pelaksana dari UUP menyebutkan dengan jelas enam butir alasan yang dapat diajukan untuk permohonan perceraian. Keenam alasan tersebut antara lain sebagai berikut:
Bisakah gugat cerai dilakukan karena suami atau istri selingkuh? Terjadinya pernikahan merupakan peristiwa yang mulia, namun tak jarang bisa juga terjadi yang namannya gugat cerai dari salah satu pihak, salah satu alasannya adalah perselingkuhan.
Ada baiknya kita ketahui dulu apa itu perkawinan. Perkawinan merupakan salah satu peristiwa hukum dengan tujuan yang mulia, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut sebagaimana bunyi Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).
Akan tetapi, pada kenyataannya tak jarang kita jumpai ikatan perkawinan yang harus berakhir karena salah satu pihak, entah suami atau istri, melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu contoh yang cukup banyak terjadi adalah karena adanya perselingkuhan yang dilakukan salah satu pihak. Lantas, bisakah gugat cerai dilakukan karena suami atau istri selingkuh?
Aturan tentang Perceraian dalam Undang-Undang Perkawinan
Kita mungkin sepakat bahwa harapan semua orang yang melakukan perkawinan adalah untuk mencapai tujuan sebagaimana yang disebutkan dalam UUP, yakni untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Dengan demikian, perceraian bukan menjadi suatu keinginan kedua belah pihak, baik laki-laki sebagai suami maupun perempuan sebagai istri.
Pasal 38 UUP menyebutkan bahwa perkawinan dapat berakhir dikarenakan tiga hal, yaitu peristiwa kematian, adanya perceraian, dan putusan pengadilan.
Berakhirnya perkawinan akibat adanya perceraian hanya dapat dilakukan di persidangan, atas dasar keputusan dari Majelis Hakim dalam persidangan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 39 ayat (1) UUP.
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa perceraian tidak dapat terjadi begitu saja. Baik suami ataupun istri yang mengajukan permohonan perceraian, perlu menyiapkan alasan-alasan yang nantinya akan dikemukakan di persidangan.
Akibat Terjadinya Perceraian
Perlu diketahui bahwa dari perceraian yang terjadi, tentu ada akibat atau dampak yang akan dirasakan. Apabila seorang istri terbukti selingkuh, maka dalam memutus perkara perceraian, Majelis Hakim akan mempertimbangkan hak asuh atas anak yang merupakan hasil dari perkawinannya.
Mengenai hal ini, Pasal 45 UUP menyebutkan bahwa kedua orangtua (dari si anak) memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik dengan sebaik-baiknya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketika salah satu atau bahkan kedua orang tua dari si anak melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai hukum atau ketentuan yang berlaku, maka hal tersebut sudah menyalahi kewajibannya dalam mendidik anaknya.
Lebih lanjut lagi, dalam pasal 105 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa anak yang berusia di bawah 12 tahun adalah hak ibunya.
Ketentuan ini secara tidak langsung menerangkan bahwa ibulah yang memiliki hak penuh atas anaknya. Sedangkan, bagi anak yang berusia di atas 12 tahun disebutkan bahwa anak tersebut dapat memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibunya.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, pada dasarnya ketika terjadi perceraian dalam suatu ikatan perkawinan, maka yang diutamakan mendapat hak asuh atas anak dari perkawinan tersebut adalah sang ibu.
Hal ini sebagaimana Putusan Mahkamah Agung Nomor 102 K/Sip/1973 tertanggal 24 April 1975, dimana dalam putusan tersebut dituliskan bahwa penentuan pemberian hak asuh anak dalam suatu peristiwa perceraian harus mengutamakan ibu kandung, terlebih lagi bagi anak yang masih berusia di bawah 12 tahun.
Hal itu dikarenakan pada usia tersebut anak masih membutuhkan hadirnya sosok ibu dalam membersamai tumbuh kembangnya, kecuali untuk perceraian yang terjadi karena peristiwa kematian yang mana istri lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak.
Dampak Gugat Cerai Karena Selingkuh
Ketika seorang istri yang sekaligus merupakan seorang ibu terbukti melakukan perselingkuhan, maka besar kemungkinan hak asuh anak akan jatuh kepada ayahnya. Hal ini terjadi karena perselingkuhan dinilai sebagai kegagalan dalam menjalankan peran serta kewajiban di dalam Rumah Tangga.
Selain itu, pengalihan hak asuh kepada sang ayah juga dilakukan demi kebaikan si anak ke depannya.
Apabila istri yang terbukti selingkuh melahirkan anak di kemudian hari, setelah putusnya ikatan perkawinan, maka seorang (mantan) suami berhak untuk memastikan apakah anak tersebut benar-benar anak dari hubungan dia dengan (mantan) istrinya (anak kandung) atau bukan.
Jika anak tersebut adalah anaknya, maka ia memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah kepada anak itu. Akan tetapi, sebelum ada kepastian bahwa itu merupakan anaknya, maka tidak ada kewajiban baginya untuk memberikan nafkah kepada anak tersebut.
Lain halnya dengan kondisi dimana istri mengajukan gugat cerai karena suami selingkuh. Apabila yang terjadi demikian, maka hak asuh anak sepenuhnya diberikan kepada istri. Namun suami tetap memiliki kewajiban untuk memberikan nafkah bagi anaknya.
Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 41 butir (b) UUP yang secara jelas menyebutkan bahwa seorang ayahlah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak; kecuali jika ia (sang ayah) tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan salah satu pihak, baik suami atau istri, melakukan perselingkuhan. Suami atau istri yang mengajukan permohonan perceraian harus menyiapkan bukti atas perselingkuhan yang dilakukan pasangan untuk menjadi bahan pertimbangan hakim di pengadilan.
Setelah permohonan perceraian dikabulkan, maka hakim akan memutuskan hak asuh terhadap anak hasil dari perkawinan, apabila pasangan yang baru saja bercerai tersebut telah memiliki anak.
Membutuhkan bantuan hukum? Anda dapat menghubungi IHW Lawyer di telepon 0812-1203-9060 atau email di [email protected] untuk mendapatkan jasa pengacara yang profesional, amanah dan berpengalaman di bidangnya.
Jangan biarkan permasalahan hukum yang Anda hadapi menggangu ketenangan hidup Anda!
IHW, demikian sapaan lainnya. Sejak diangkat sebagai advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) pada tahun 2010, lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung ini telah memegang banyak perkara litigasi. Mulai dari hukum pidana, perdata, hukum keluarga dan juga ketenagakerjaan.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan judi dan pinjaman online adalah paket lengkap untuk memperburuk kondisi rumah tangga. Berdasarkan catatan tahunan Komnas Perempuan 2023, sepanjang 2022 terdapat 1.178 kasus perceraian yang diakibatkan judi. Adapun menurut data Badan Pusat Statistik sepanjang 2023, terdapat 1.572 kasus perceraian karena judi.
"Misalkan kondisi keuangan keluarga yang tidak stabil, belum pulih dari COVID-19, kemudian terpuruk, misalnya dalam pinjaman online atau judi online, otomatis kan membuat kondisi rumah tangga itu tidak stabil," ujarnya kepada detikX pada Selasa, 18 Juni 2024.
Judi online menjadi pemicu terjadinya kekerasan ekonomi terhadap perempuan. Dalam banyak kasus, pelaku judi dengan paksa menguasai harta korban. Misalnya melakukan pengisian judi slot melalui gawai dan rekening istri. Lalu, di banyak kejadian, pelaku menjual atau menggadaikan barang pasangan. Selain ketagihan judi online, biasanya pelaku juga akan terjerat pinjaman online.
Di sisi lain, Siti mendesak agar pemerintah tegas menindak dan memblokir akses aplikasi judi. Setelah itu, pihak-pihak di balik judi online juga harus menerima hukuman setimpal.
Namun Siti juga mengingatkan, orang tertarik pada pinjaman dan judi online karena tergiur pendapatan tambahan. Artinya, selama ini upah yang diterima kelewat rendah. Untuk itu, selain memutus akses aplikasi judi online, pemerintah harus menaikkan tingkat upah agar ekonomi keluarga lebih stabil.
Terjadi di Berbagai DaerahSepanjang 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terdapat 1.191 kasus perceraian akibat judi. Angka ini terus bertambah dari dua tahun sebelumnya, yaitu 648 kasus pada 2020 dan 993 kasus pada 2021. Mirisnya, pada 2023, perceraian akibat judi menembus 1.572 kasus. Jumlah ini meningkat 32 persen dalam setahun dan melesat 142,6 persen dibandingkan pada 2020 atau awal pandemi COVID-19.
Judi bahkan menjadi penyebab perceraian terbanyak setelah perselisihan dan pertengkaran terus-menerus, ekonomi, meninggalkan salah satu pihak, dan mabuk. Adapun provinsi dengan kasus perceraian terbanyak akibat judi adalah Jawa Timur, disusul dengan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
darulmaarif.net – Indramayu, 02 Juni 2024 | 01.00 WIB
Judi Online makin mereshakan banyak pihak. Perjudian, dalam ragam bentuk dan jenisnya tidak hanya merugikan diri sendiri, tapi juga merugikan orang lain. Lebih-lebih Judi Online, tidak hanya merugikan orang di sekitar, tapi berdampak massif dan berskala nasional merugikan negara. Bagi yang sudah berkeluarga, Judi Online berdampak mengganggu stabilitas ekonomi keluarga, bahkan bisa sampai merusak keharmonisan rumah tangga pasangan suami istri.
Dalam konteks rumah tangga, judi online yang dilakukan suami seseringkali menjadikan istri dan anak sebagai korban. Kerapkali bagi suami yang kecanduan Judi online tidak memberikan nafkah untuk anak dan istri, uang yang semestinya dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga malah dipakai untuk main judi.
Dampak buruk lain yang sering terjadi akibat suami kecanduan judi online cenderung tempramental dan mudah marah. Akibatnya, istri dan anak bisa jadi korban pelampiasan dari suami yang kalah dari judi online.
Lantas, menanggapi hal dmeikian muncul pertanyaan: bagaimana hukumnya seorang istri yang menggugat cerai dengan alasan suami yang kecanduan judi online?
Menurut tinjauan Fikih, hak talak hanya ada pada suami. Namun demikian, istri masih mempunyai hak mengajukan gugatan cerai. Hal ini tidak lain untuk memberikan perlindungan kepada pihak perempuan atau istri dari bahaya yang mungkin mengancamnya.
Gugatan cerai yang dilakukan pihak istri kepada suami disebut sebagai khulu’. Khulu’ pada dasarnya tidak diperbolehkan, kecuali bila memenuhi persyaratan yang dibenarkan menurut hukum syara’.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلَابَةَ، عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ، عَنْ ثَوْبَانَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami [Sulaiman bin Harb] berkata, telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Zaid] dari [Ayyub] dari [Abu Qilabah] dari [Abu Asma] dari [Tsauban] ia berkata, “Rosululloh Saw bersabda: “Wanita mana saja yang minta cerai kepada suaminya bukan karena alasan yang dibenarkan, maka ia tidak akan mendapatkan bau surga.” (HR. Imam Ibnu Majah)
Adapun alasan-alasan yang dibenarkan agama adalah sebagaimana yang disampaikan Ibnu Qudamah dalam al-Mughni,
وجمله الأمر أن المرأة إذا كرهت زوجها لخلقه أو خلقه أو دينه أو كبره أو ضعفه أو نحو ذلك وخشيت أن لا تؤدي حق الله في طاعته جاز لها أن تخالعه بعوض تفتدي به نفسها منه
Artinya: “Kesimpulan masalah ini, bahwa seorang wanita, jika membenci suaminya karena akhlaknya atau karena fisiknya atau karena agamanya, atau karena usianya yang sudah tua, atau karena dia lemah, atau alasan yang semisalnya, sementara dia khawatir tidak bisa menunaikan hak Alloh dalam mentaati sang suami, maka boleh baginya untuk meminta khulu’ (gugat cerai) kepada suaminya dengan memberikan biaya/ganti untuk melepaskan dirinya.” (al-Mughni, VII/323)
Dengan alasan suami kecanduan judi online, istri diperbolehkan melakukan gugatan cerai (khulu’) dengan alasan buruknua akhlak dan agama suami, atau alasan tidak diberi nafkah. Hal ini sebagaimana diterangkan Syekh Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya, Asnal Matholib, sebagai berikut:
وَيَصِحُّ فِي حَالَتَيْ الشِّقَاقِ وَالْوِفَاقِ وَذِكْرُ الْخَوْفِ فِي الْآيَةِ جَرَى عَلَى الْغَالِبِ. (وَلَا يُكْرَهُ عِنْدَ الشِّقَاقِ أَوْ) عِنْدَ (كَرَاهِيَتِهَا لَهُ) لِسُوءِ خُلُقِهِ أَوْ دِينِهِ أَوْ غَيْرِهِ (أَوْ) عِنْدَ خَوْفِ (تَقْصِيرٍ) مِنْهَا (فِي حَقِّهِ) أَوْ عِنْدَ حَلِفِهِ بِالطَّلَاقِ الثَّلَاثِ مِنْ مَدْخُولٍ بِهَا عَلَى فِعْلِ مَا لَا بُدَّ لَهُ مِنْ فِعْلِهِ وَذَلِكَ لِلْحَاجَةِ إلَيْهِ وَلِلْخَبَرِ السَّابِقِ فِي خَوْفِ التَّقْصِيرِ قَالَ فِي الْأَصْلِ وَأَلْحَقَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ بِذَلِكَ مَا لَوْ مَنَعَهَا نَفَقَةً أَوْ غَيْرَهَا فَافْتَدَتْ لِتَتَخَلَّصَ مِنْهُ انْتَهَى
Artinya, “Dan khulu’ sah dilakukan baik dalam kondisi perselisihan maupun dalam kondisi damai, meskipun dalam ayat disebutkan tentang ketakutan, hal itu berlaku pada kebanyakan kasus.
Khulu’ tidak dimakruhkan dalam kondisi perselisihan atau ketika istri membenci suaminya karena keburukan akhlaknya, agamanya, atau hal lain, atau ketika istri khawatir tidak dapat memenuhi hak-hak suami, atau ketika suami bersumpah dengan tiga talak pada istri yang telah digauli untuk melakukan sesuatu yang harus dilakukannya karena kebutuhan, dan berdasarkan hadits yang disebutkan sebelumnya tentang ketakutan akan ketidakpatuhan.
Hal ini disebutkan dalam kitab asal . Syekh Abu Hamid menyamakan dengan kasus ini jika suami menahan nafkah atau hak-hak lainnya, sehingga istri menebus dirinya untuk membebaskan diri darinya.” (Zakariya bin Muhammad bin Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhut Thalib, [Beirut, Dar Kutub Islami], juz III, halaman 241).
Dapat disimpulkan bahwa seorang istri boleh menggugat atau meminta cerai kepada suami yang kecanduan judi online dengan memberikan sejumlah kompensasi (‘iwadh) karena seorang yang kecanduan judi online dapat dipastikan akhlak dan agamanya buruk.
Hal ini dilakukan demi melindungi hak-hal istri dari perlakuan tidak baik dari suami. Terlebih, jika suami memang sudah kecanduan judi online dan sulit dinasehati bahkan kerap bertindak kasar pada istri. Tentunya pilihan cerai merupakan opsi terkahir jika langkah-langkah optimal perbaikan sudah ditempuh sedemikian rupa.
Semoga bermanfaat. Wallohu a’lam.